Nonosoft

Nonosoft

Selasa, 14 Mei 2013

Menerobos Implementasi Pelajaran Agama Di Sekolah Beda Agama



Menerobos Implementasi Pelajaran Agama Di Sekolah
Oleh: Lastiko Runtuwene, S.Ag, M.Pd
Kepala Seksi Bimas Katolik Kementerian Agama Kota Tomohon.


Pendahuluan
Judul tulisan ini adalah ‘menerobos implementasi pelajaran agama di  sekolah.’ Memang diawali dengan kata ‘menerobos’, karena akan mencoba memaparkan gagasan yang barangkali sudah dipikirkan oleh banyak kalangan, akan tetapi sedikit ‘menganggu’ apa yang sedang diterapkan dalam pelaksanaan pelajaran agama di sekolah (terutama di sekolah swasta umum dengan ciri khas keagamaan).
Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pendewasaan manusia menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya meliputi keseluruhan dimensi kehidupan manusia: fisik, psikis, mental/moral, spiritual dan religius. Pendidikan dapat berlangsung secara formal di sekolah, informal di lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan dan nonformal dalam keluarga. Pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu upaya pendewasaan manusia pada dimensi spiritual-religius. Adanya pelajaran agama di sekolah di satu pihak sebagai upaya pemenuhan hakekat manusia sebagai makhluk religius (homo religiousus). Sekaligus di lain pihak pemenuhan apa yang objektif dari para siswa akan kebutuhan pelayanan hidup keagamaan. Agama dan hidup beriman merupakan suatu yang objektif menjadi kebutuhan setiap manusia.
Pelaksanaan pelajaran agama di sekolah selama ini sudah berjalan. Sekolah-sekolah di Indonesia memberlakukan/memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum. Pelajaran Pendidikan Agama merupakan salah satu pelajaran ‘wajib’, harus ada dan diterima oleh para siswa. Di Indonesia persekolahan-persekolahan swasta umum dengan ciri keagamaan tertentu menerapkan pelajaran agama sesuai dengan diri khas keagamaannya. Kenyataan di lapangan penerapan pelajaran agama di sekolah baik negeri dan swasta memuncukan dialektika atau bahkan menimbulkan problematika.
Problematika Pelajaran Agama di Sekolah Pelajaran agama di sekolah dalam implementasinya menimbulkan problematika konsepsional dan (sekaligus) operasional. 
Persoalan pertama secara konsepsional yakni, iman merupakan dimensi personal, hak asasi manusia. Hidup beragama dan beriman merupakan suatu yang personal, menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya. Dimensi personal iman merupakan misteri, menuntut keyakinan iman dan kebebasan penghayatannya yang tidak boleh ‘dipaksakan’ dari luar. Beragama dan menerima pelajaran agama merupakan hak asasi manusia.
Persoalan kedua, iman berkembang dalam dinamika hidup manusia dan sulit diukur secara kuantitatif berupa nilai angka. Pada tataran operasional, apabila guru memberikan nilai 8 (delapan) pada nilai pelajaran agama, nilai tersebut tidak menjadi ukuran untuk menilai keseluruhan iman siswa. Argumentasi yang dapat dikemukakan bahwa penilaian hanya pada aspek pengetahuan (kognitif) saja. Namun apabila dalam terminologi pedagogik, bahwa proses pendidikan termasuk penilaian hendaknya mencakup tiga aspek ranah; kognitif, afektif dan psikomotor. Memang ada upaya-upaya untuk memberikan penilaian pada tiga ranah tersebut secara komprehensif. Akan tetapi tetap menimbulkan kesulitan tertentu. Bagaimana mungkin nilai hanya 0 s.d. 10 diberikan kepada sejumlah siswa. Tentu ada siswa memiliki nilai yang sama. Pertanyaannya, apakah siswa yang memiliki nilai yang sama: pengetahuan, penghayatan dan implementasi iman mereka sama? Kesulitan lain, yakni mengapa guru jarang atau tidak pernah memberikan nilai kurang dari 6 atau nilai 10 pada pelajaran agama?
Ketiga, Internalisasi dan implementasi iman. Pendidikan agama membutuhkan sikap dasar iman untuk internalisasi (pembatinan) nilainilai/ajaran gama yang disampaikan. Proses pembatinan ajan iman mengandaikan adanya sikap iman. Kenyataan di sekolah (terutama sekolah dengan ciri khas keagamaan, juga di beberapa sekolah negeri) banyak pelajaran agama tertentu diberikan kepada siswa dengan perbedaan agama. Proses pembatinan nilai/ajaran sulit terjadi, para siswa hanya menangkap sebagai suatu pengetahuan tetapi tidak sampai pada penghayatan dan perwujudan nilai/ajaran iman karena tidak sesuai dengan iman/agamanya. Proses pendidikan yang utuh apabila pelajaran agama sampai pada penghayatan dan pembentukan sikap. Misalnya guru akan mengalami kesulitan mengajar tentang berdoa Katolik dan akan dipratekkan oleh siswa Islam, Budha atau Hindhu. Bagaiman mungkin siswa Islam dalam suasana kekhusukan berdoa secara Kristen. Atau sebaliknya guru Islam mengajar tentang solat lima waktu dan mengajak siswa Kristen untuk mempraktekkannya.
Keempat, penyajian pelajaran agama masih formalistik-ritual. Oleh banyak ahli pelajaran agama di Indonesia meragukan efek positifnya. Pelajaran agama masih sering disajikan secara formalisti-ritual belaka, tanpa usaha membangun sikap-sikap keterbukaan dan tanggung-jawab etis. Lebih memprihantinkan lagi, adanya keluhan bahwa banyak guru agama yang memiliki paradigma eksklusif, berpikiran sempit dan tertutup.
Kelima, kekurangan atau tidak tersedianya tenaga pengajar agama. Di satu pihak pemerintah dengan regulasi-regulasi yang ada, ‘mewajibkan’ setiap siswa mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agamanya. Namun kenyataan bahwa banyak siswa yang menerima pelajaran agama tidak sesuai dengan agamanya, disebabkan tidak tersedianya guru agama (ataupun guru agama yang kompeten). Tidak jarang guru mata pelajaran lain mengajar pelajaran agama. Tentunya ini baik juga, namun tidak ideal. Masih banyak juga guru agama yang tidak memiliki kapasitas dan kompetensi mengampuh mata pelajaran agama. Program-program pemerintah untuk penyediaan tenaga pengajar agama dan peningkatan kualitas pengajar agama (dengan program sertifikasi dan pelatihan-pelatihan) belum menjangkau seluruh guru.
Kelima, fasilitas pelajaran agama yang kurang/tidak representatif. Kenyataan di lapangan pelajaran agama yang tidak ada sekolah-sekolah negeri, khususnya siswa yang jumlahnya lebih sedikit sering tidak mendapatkan tempat/ruang dan jadual yang representatif untuk pelajaran agama. Kemungkinan Penerapan Pelajaran Agama Di Sekolah
Hak kebebasan beragama dalam kaitan dengan masalah pelajaran agama berarti orangtualah yang berhak menentukan, apakah, di manakah, dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama. Hak asasi orang tua memuat hak agar anak mereka tidak diberi pelajaran agama yang tidak dikehendaki. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pasal 12, ayat (1) huruf a, mengamanatkan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Bukan hanya di sekolah negeri, juga di sekolah swasta, bahwa setiap siswa berhak mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan agamanya harus dipenuhi, maka pemerintah berkewajiban menyediakan/mengangkat tenaga pengajar agama untuk semua siswa sesuai dengan agamanya baik sekolah negeri maupun swasta. Pasal 55, ayat (5) menegaskan: “Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumber daya lian secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Penyelenggaraan sekolah umum dengan ciri keagamaan merupakan hak masyarakat. UU No. 20 Tahun 2003, pasal 55 menegaskan: “Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.” Penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah sesuai dengan ciri keagamaan merupakan hak sekaligus kewajiban sekolah yang diselengarakan oleh masyarakat. PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 3 menegaskan: “Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.” Hal mendapatkan pelajaran agama memang hak orang tua dan siswa Hak-hak sebagai warga Negara harus dijamin oleh pemerintah.
Dalam sejarah dan data pendidikan di Indonesia, persekolahan yang diselenggarakan oleh masyarakat, lembaga keagamaan, ataupun personal dan organisasi begitu banyak jumlah, melebihi sekolah-sekolah negeri yang ada dan telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan Indonesia. Maka pemerintah berkewajiban memperhatikan keberadaan sekolah swasta sama dengan sekolah negeri termasuk pelajaran agama.
Bukan suatu keniscayaan di sekolah swasta umum dengan ciri khas keagamaan tertentu, pelajaran agama diberikan untuk semua siswa sesuai dengan agamanya, dan oleh guru agama yang seagama. Selama ini masih berlaku sekolah dengan basis keagamaan hanya memberikan pelajaran agama sesuai dengan ciri khas keagamaan sekolah tersebut. Di sekolah negeri tidak menjadi persoalan, walaupun pemerintah belum sepenuhnya secara merata menyediakan pengajar dan fasilitas yang memadai. Memang konsekuensinya adalah sekolah menyediakan guru agama sesuai dengan agama siswanya, menyediakan fasilitas pelajaran agama, dsb. Apakah harus ada rumah ibadah macam-macam agama di sekolah swasta? PP. No. 55 Tahun 2007, pasal pasal 4, ayat (7) menegaskan: “Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.”
Dalam konteks otonomi sekolah, setiap sekolah umum keagamaan berhak hanya menawarkan pelajaran agama sesuai dengan ciri khasnya. Misalnya sekolah Katolik berhak hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Kristen hanya menawarkan pelajaran agama Kristen, sekolah Islam hanya menawarkan pelajaran agama Islam. Akan tetapi sekolah tidak berhak mewajibkan siswa-siswanya dari agama lain mengikuti pelajaran agama sesuai dengan cirri khas keagamaan sekolah yang bersangkutan. Misalnya apabila sekolah Kristen atau Katolik menerima siswa bukan Kristen-Katolik, sekolah tersebut tidak berhak mewajibkan atau menekan orangtua untuk mengizinkan anak mereka yang bukan Kristiani mengikuti pelajaran agama Kristen-Katolik. Dalam konteks pluralisme, apabila sekolah swasta dengan ciri khas keagamaan memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari pluralitas agama, pendirian orangtua mereka masing-masing wajib dihormati. Itulah yang namanya pluralisme. Maka tidak menjadi masalah, kalau sekolah dengan basis keagamaan tertentu menerima pelajaran dan guru agama lain.
Menurut hemat penulis, hadirnya pelajaran agama dan guru agama yang tidak sesuai dengan ciri khas keagamaan sekolah tersebut tidak menghilangkan ciri khas dan otonomi keagamaan sekolah. Adanya beberapa guru agama yang berbeda dapat membuka peluang untuk saling berinteraksi, berdialog dan berbagi ajaran dan pengalaman iman dalam suatu kelompok rumpun mata pelajaran agama. Pelajaran dan pendidikan agama semakin diperkaya dengan adanya pelbagai perbedaan. Adagium: “kesatuan dalam kepelbagaian” menjadi hal yang bukan mustahil diwujudkan. Suasana ini akan mendorong perilaku inklusif untuk bertoleransi dan membangun sikap saling menghormati perbedaan. Nilainilai pluralitas dapat berkembang yang pada akhirnya dihindari perilaku fanatisme sempit, bahkan dapat dihindari perilaku radikalisme keagamaan. Sistem ini bukan merupakan seuatu kemunduran atau ancaman. Akan tetapi justru merupakan suatu langkah bijaksana dan maju menuju sikap beriman yang inklusif dalam suatu tatanan komunitas beriman yang sejati.
Sekolah swasta umum dengan ciri keagamaan memiliki hak otonomi untuk menentukan ataupun menerima guru agama yang akan mengampuh mata pelajaran agama. Misalnya sekolah katolik menerima guru agama Islam, Kristen, Hindhu, dan Budha. Demikian sebaliknya. Sekolah berhak menilai dan membina serta memperhatikan isi (konten) materi pelajaran yang diberikan. Kepentingan sekolah swasta keagamaan adalah guru agama tersebut berwawasan inklusif, humanis, memenuhi kecerdasan yang memadai dan membantu proses pembentukan sikap dan perilaku hidup keagamaan dan kemanusiaan para siswa. Sekolah memastikan terjaminnya isi ajaran dan proses pembelajaran agama mendorong pembentukan sikap dan perilaku nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, yang dibutuhkan untuk kesejahteraan dan ketenteraman hidup bersama. Kondisi ini membutuhkan komunikasi yang jujur dan terbuka. Siswa, guru agama dan orang tua dari agama lain diharapkan untuk menghormati kekhasan dan aturan sekolah.
Kemungkinan lain, sekolah memberikan kesempatan kepada para siswa yang beragama lain menerima/mengikuti pelajaran agama diberikan di luar sekolah atau di luar jam pelajaran di sekolah bagi siswa yang beragama lain dalam program kurikulum sekolah. Dalam hal ini guru dan/atau lembaga keagamaan lain. Sekolah tetap bertanggung-jawab dan memastikan siswanya mengikuti pelajaran agama. Untuk itu koordinasi dan komunikasi pembinaan iman melalui pelajaran agama di luar sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga keagamaan lain tetap harus ada. Kecuali itu, sekolah harus memastikan bahwa guru atau lembaga keagamaan yang membantu menyelenggarakan pelajaran agama di luar sekolah menjamin proses pemanusiaan (humanisasi) yang sejati.
Penutup
Memang kondisi sekolah-sekolah swasta dengan ciri keagamaan, sampai saat ini masih memberikan pelajaran agama untuk semua siswa dengan satu mata pelajaran sesuai dengan ciri khas keagamaanya barangkali tidak/belum menjadi persoalan; masih tetap mempertahankannya dengan rupa-rupa argumentasi. Akan tetapi apa yang sudah dipaparkan sebagai suatu antisipasi dan pemikiran yang dapat diterapkan di masa mendatang. Dinamika regulasi pendidikan dan perkembangan teknologi pendidikan di Indonesia bahkan refleksi teologis dan pedagogik akan terus berkembang melampaui apa yang ada sekarang. Diskusi-diskusi selanjutnya sangat diharapkan. Demikianpun kemungkinan-kemungkinan lain tentang penerapan lain tentang pelajaran agama di sekolah swasta dengan ciri keagamaan akan sangat membantu untuk kemajuan pendidikan secara umum, dan terlebih daripada itu untuk membantu para siswa untuk berkembang sesuai dengan keberadaannya.
Tomohon, Maret 2013
Penulis saat ini adalah sebagai Kepala Seksi Bimas Katolik
Kementerian Agama Kota Tomohon.