Menerobos Implementasi
Pelajaran Agama Di Sekolah
Oleh: Lastiko Runtuwene, S.Ag, M.Pd
Kepala
Seksi Bimas Katolik Kementerian Agama Kota Tomohon.
Pendahuluan
Judul
tulisan ini adalah ‘menerobos implementasi pelajaran agama di sekolah.’ Memang diawali dengan kata ‘menerobos’, karena akan
mencoba memaparkan gagasan yang barangkali sudah dipikirkan oleh banyak kalangan,
akan tetapi sedikit ‘menganggu’ apa yang sedang diterapkan dalam pelaksanaan
pelajaran agama di sekolah (terutama di sekolah swasta umum dengan ciri khas
keagamaan).
Pendidikan pada
hakekatnya merupakan proses pendewasaan manusia menjadi manusia seutuhnya.
Manusia seutuhnya meliputi keseluruhan dimensi kehidupan manusia: fisik,
psikis, mental/moral, spiritual dan religius. Pendidikan dapat berlangsung
secara formal di sekolah, informal di lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan
dan nonformal dalam keluarga. Pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu upaya
pendewasaan manusia pada dimensi spiritual-religius. Adanya pelajaran agama di
sekolah di satu pihak sebagai upaya pemenuhan hakekat manusia sebagai makhluk
religius (homo religiousus). Sekaligus di lain pihak pemenuhan apa yang
objektif dari para siswa akan kebutuhan pelayanan hidup keagamaan. Agama dan
hidup beriman merupakan suatu yang objektif menjadi kebutuhan setiap manusia.
Pelaksanaan
pelajaran agama di sekolah selama ini sudah berjalan. Sekolah-sekolah di
Indonesia memberlakukan/memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum. Pelajaran
Pendidikan Agama merupakan salah satu pelajaran ‘wajib’, harus ada dan diterima
oleh para siswa. Di Indonesia persekolahan-persekolahan swasta umum dengan ciri
keagamaan tertentu menerapkan pelajaran agama sesuai dengan diri khas
keagamaannya. Kenyataan di lapangan penerapan pelajaran agama di sekolah baik
negeri dan swasta memuncukan dialektika atau bahkan menimbulkan problematika.
Problematika
Pelajaran Agama di Sekolah Pelajaran agama di sekolah dalam implementasinya
menimbulkan problematika konsepsional dan (sekaligus) operasional.
Persoalan
pertama secara konsepsional yakni, iman merupakan dimensi personal, hak asasi manusia.
Hidup beragama dan beriman merupakan suatu yang personal, menyangkut hubungan
manusia dengan Tuhannya. Dimensi personal iman merupakan misteri, menuntut
keyakinan iman dan kebebasan penghayatannya yang tidak boleh ‘dipaksakan’ dari
luar. Beragama dan menerima pelajaran agama merupakan hak asasi manusia.
Persoalan
kedua, iman berkembang dalam dinamika hidup manusia dan sulit diukur secara
kuantitatif berupa nilai angka. Pada tataran operasional, apabila guru
memberikan nilai 8 (delapan) pada nilai pelajaran agama, nilai tersebut tidak
menjadi ukuran untuk menilai keseluruhan iman siswa. Argumentasi yang dapat
dikemukakan bahwa penilaian hanya pada aspek pengetahuan (kognitif) saja. Namun
apabila dalam terminologi pedagogik, bahwa proses pendidikan termasuk penilaian
hendaknya mencakup tiga aspek ranah; kognitif, afektif dan psikomotor. Memang
ada upaya-upaya untuk memberikan penilaian pada tiga ranah tersebut secara
komprehensif. Akan tetapi tetap menimbulkan kesulitan tertentu. Bagaimana
mungkin nilai hanya 0 s.d. 10 diberikan kepada sejumlah siswa. Tentu ada siswa
memiliki nilai yang sama. Pertanyaannya, apakah siswa yang memiliki nilai yang
sama: pengetahuan, penghayatan dan implementasi iman mereka sama? Kesulitan
lain, yakni mengapa guru jarang atau tidak pernah memberikan nilai kurang dari
6 atau nilai 10 pada pelajaran agama?
Ketiga,
Internalisasi dan implementasi iman. Pendidikan agama membutuhkan sikap dasar
iman untuk internalisasi (pembatinan) nilainilai/ajaran gama yang disampaikan.
Proses pembatinan ajan iman mengandaikan adanya sikap iman. Kenyataan di
sekolah (terutama sekolah dengan ciri khas keagamaan, juga di beberapa sekolah
negeri) banyak pelajaran agama tertentu diberikan kepada siswa dengan perbedaan
agama. Proses pembatinan nilai/ajaran sulit terjadi, para siswa hanya menangkap
sebagai suatu pengetahuan tetapi tidak sampai pada penghayatan dan perwujudan
nilai/ajaran iman karena tidak sesuai dengan iman/agamanya. Proses pendidikan
yang utuh apabila pelajaran agama sampai pada penghayatan dan pembentukan
sikap. Misalnya guru akan mengalami kesulitan mengajar tentang berdoa Katolik
dan akan dipratekkan oleh siswa Islam, Budha atau Hindhu. Bagaiman mungkin
siswa Islam dalam suasana kekhusukan berdoa secara Kristen. Atau sebaliknya
guru Islam mengajar tentang solat lima waktu dan mengajak siswa Kristen untuk mempraktekkannya.
Keempat,
penyajian pelajaran agama masih formalistik-ritual. Oleh banyak ahli pelajaran
agama di Indonesia meragukan efek positifnya. Pelajaran agama masih sering
disajikan secara formalisti-ritual belaka, tanpa usaha membangun sikap-sikap
keterbukaan dan tanggung-jawab etis. Lebih memprihantinkan lagi, adanya keluhan
bahwa banyak guru agama yang memiliki paradigma eksklusif, berpikiran sempit
dan tertutup.
Kelima,
kekurangan atau tidak tersedianya tenaga pengajar agama. Di satu pihak
pemerintah dengan regulasi-regulasi yang ada, ‘mewajibkan’ setiap siswa
mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agamanya. Namun kenyataan bahwa banyak
siswa yang menerima pelajaran agama tidak sesuai dengan agamanya, disebabkan
tidak tersedianya guru agama (ataupun guru agama yang kompeten). Tidak jarang
guru mata pelajaran lain mengajar pelajaran agama. Tentunya ini baik juga,
namun tidak ideal. Masih banyak juga guru agama yang tidak memiliki kapasitas
dan kompetensi mengampuh mata pelajaran agama. Program-program pemerintah untuk
penyediaan tenaga pengajar agama dan peningkatan kualitas pengajar agama
(dengan program sertifikasi dan pelatihan-pelatihan) belum menjangkau seluruh
guru.
Kelima,
fasilitas pelajaran agama yang kurang/tidak representatif. Kenyataan di
lapangan pelajaran agama yang tidak ada sekolah-sekolah negeri, khususnya siswa
yang jumlahnya lebih sedikit sering tidak mendapatkan tempat/ruang dan jadual
yang representatif untuk pelajaran agama. Kemungkinan Penerapan Pelajaran Agama
Di Sekolah
Hak
kebebasan beragama dalam kaitan dengan masalah pelajaran agama berarti
orangtualah yang berhak menentukan, apakah, di manakah, dalam agama apakah anak
mereka boleh diberi pelajaran agama. Hak asasi orang tua memuat hak agar anak
mereka tidak diberi pelajaran agama yang tidak dikehendaki. Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pasal 12, ayat (1) huruf a, mengamanatkan:
“Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama.” Bukan hanya di sekolah negeri, juga di sekolah swasta, bahwa
setiap siswa berhak mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan agamanya harus
dipenuhi, maka pemerintah berkewajiban menyediakan/mengangkat tenaga pengajar
agama untuk semua siswa sesuai dengan agamanya baik sekolah negeri maupun
swasta. Pasal 55, ayat (5) menegaskan: “Lembaga pendidikan berbasis masyarakat
dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumber daya lian secara adil dan
merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Penyelenggaraan
sekolah umum dengan ciri keagamaan merupakan hak masyarakat. UU No. 20 Tahun
2003, pasal 55 menegaskan: “Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan
berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan
agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.” Penyelenggaraan
pelajaran agama di sekolah sesuai dengan ciri keagamaan merupakan hak sekaligus
kewajiban sekolah yang diselengarakan oleh masyarakat. PP No. 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 3 menegaskan: “Setiap
satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib
menyelenggarakan pendidikan agama.” Hal mendapatkan pelajaran agama memang hak
orang tua dan siswa Hak-hak sebagai warga Negara harus dijamin oleh pemerintah.
Dalam
sejarah dan data pendidikan di Indonesia, persekolahan yang diselenggarakan
oleh masyarakat, lembaga keagamaan, ataupun personal dan organisasi begitu
banyak jumlah, melebihi sekolah-sekolah negeri yang ada dan telah memberikan
kontribusi yang besar bagi perkembangan Indonesia. Maka pemerintah berkewajiban
memperhatikan keberadaan sekolah swasta sama dengan sekolah negeri termasuk
pelajaran agama.
Bukan suatu
keniscayaan di sekolah swasta umum dengan ciri khas keagamaan tertentu,
pelajaran agama diberikan untuk semua siswa sesuai dengan agamanya, dan oleh
guru agama yang seagama. Selama ini masih berlaku sekolah dengan basis
keagamaan hanya memberikan pelajaran agama sesuai dengan ciri khas keagamaan
sekolah tersebut. Di sekolah negeri tidak menjadi persoalan, walaupun
pemerintah belum sepenuhnya secara merata menyediakan pengajar dan fasilitas
yang memadai. Memang konsekuensinya adalah sekolah menyediakan guru agama
sesuai dengan agama siswanya, menyediakan fasilitas pelajaran agama, dsb.
Apakah harus ada rumah ibadah macam-macam agama di sekolah swasta? PP. No. 55
Tahun 2007, pasal pasal 4, ayat (7) menegaskan: “Satuan pendidikan yang berciri
khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain
yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.”
Dalam
konteks otonomi sekolah, setiap sekolah umum keagamaan berhak hanya menawarkan
pelajaran agama sesuai dengan ciri khasnya. Misalnya sekolah Katolik berhak
hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Kristen hanya menawarkan
pelajaran agama Kristen, sekolah Islam hanya menawarkan pelajaran agama Islam.
Akan tetapi sekolah tidak berhak mewajibkan siswa-siswanya dari agama lain mengikuti
pelajaran agama sesuai dengan cirri khas keagamaan sekolah yang bersangkutan.
Misalnya apabila sekolah Kristen atau Katolik menerima siswa bukan
Kristen-Katolik, sekolah tersebut tidak berhak mewajibkan atau menekan orangtua
untuk mengizinkan anak mereka yang bukan Kristiani mengikuti pelajaran agama
Kristen-Katolik. Dalam konteks pluralisme, apabila sekolah swasta dengan ciri
khas keagamaan memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari pluralitas agama, pendirian
orangtua mereka masing-masing wajib dihormati. Itulah yang namanya pluralisme.
Maka tidak menjadi masalah, kalau sekolah dengan basis keagamaan tertentu menerima
pelajaran dan guru agama lain.
Menurut
hemat penulis, hadirnya pelajaran agama dan guru agama yang tidak sesuai dengan
ciri khas keagamaan sekolah tersebut tidak menghilangkan ciri khas dan otonomi
keagamaan sekolah. Adanya beberapa guru agama yang berbeda dapat membuka
peluang untuk saling berinteraksi, berdialog dan berbagi ajaran dan pengalaman
iman dalam suatu kelompok rumpun mata pelajaran agama. Pelajaran dan pendidikan
agama semakin diperkaya dengan adanya pelbagai perbedaan. Adagium: “kesatuan
dalam kepelbagaian” menjadi hal yang bukan mustahil diwujudkan. Suasana ini
akan mendorong perilaku inklusif untuk bertoleransi dan membangun sikap saling
menghormati perbedaan. Nilainilai pluralitas dapat berkembang yang pada
akhirnya dihindari perilaku fanatisme sempit, bahkan dapat dihindari perilaku
radikalisme keagamaan. Sistem ini bukan merupakan seuatu kemunduran atau
ancaman. Akan tetapi justru merupakan suatu langkah bijaksana dan maju menuju
sikap beriman yang inklusif dalam suatu tatanan komunitas beriman yang sejati.
Sekolah
swasta umum dengan ciri keagamaan memiliki hak otonomi untuk menentukan ataupun
menerima guru agama yang akan mengampuh mata pelajaran agama. Misalnya sekolah
katolik menerima guru agama Islam, Kristen, Hindhu, dan Budha. Demikian
sebaliknya. Sekolah berhak menilai dan membina serta memperhatikan isi (konten)
materi pelajaran yang diberikan. Kepentingan sekolah swasta keagamaan adalah
guru agama tersebut berwawasan inklusif, humanis, memenuhi kecerdasan yang memadai
dan membantu proses pembentukan sikap dan perilaku hidup keagamaan dan
kemanusiaan para siswa. Sekolah memastikan terjaminnya isi ajaran dan proses
pembelajaran agama mendorong pembentukan sikap dan perilaku nilai-nilai
kemanusiaan yang luhur, yang dibutuhkan untuk kesejahteraan dan ketenteraman
hidup bersama. Kondisi ini membutuhkan komunikasi yang jujur dan terbuka.
Siswa, guru agama dan orang tua dari agama lain diharapkan untuk menghormati
kekhasan dan aturan sekolah.
Kemungkinan
lain, sekolah memberikan kesempatan kepada para siswa yang beragama lain
menerima/mengikuti pelajaran agama diberikan di luar sekolah atau di luar jam
pelajaran di sekolah bagi siswa yang beragama lain dalam program kurikulum
sekolah. Dalam hal ini guru dan/atau lembaga keagamaan lain. Sekolah tetap
bertanggung-jawab dan memastikan siswanya mengikuti pelajaran agama. Untuk itu
koordinasi dan komunikasi pembinaan iman melalui pelajaran agama di luar
sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga keagamaan lain tetap harus ada. Kecuali
itu, sekolah harus memastikan bahwa guru atau lembaga keagamaan yang membantu
menyelenggarakan pelajaran agama di luar sekolah menjamin proses pemanusiaan
(humanisasi) yang sejati.
Penutup
Memang
kondisi sekolah-sekolah swasta dengan ciri keagamaan, sampai saat ini masih
memberikan pelajaran agama untuk semua siswa dengan satu mata pelajaran sesuai
dengan ciri khas keagamaanya barangkali tidak/belum menjadi persoalan; masih
tetap mempertahankannya dengan rupa-rupa argumentasi. Akan tetapi apa yang sudah
dipaparkan sebagai suatu antisipasi dan pemikiran yang dapat diterapkan di masa
mendatang. Dinamika regulasi pendidikan dan perkembangan teknologi pendidikan
di Indonesia bahkan refleksi teologis dan pedagogik akan terus berkembang
melampaui apa yang ada sekarang. Diskusi-diskusi selanjutnya sangat diharapkan.
Demikianpun kemungkinan-kemungkinan lain tentang penerapan lain tentang
pelajaran agama di sekolah swasta dengan ciri keagamaan akan sangat membantu untuk
kemajuan pendidikan secara umum, dan terlebih daripada itu untuk membantu para
siswa untuk berkembang sesuai dengan keberadaannya.
Tomohon,
Maret 2013
Penulis saat
ini adalah sebagai Kepala Seksi Bimas Katolik
Kementerian Agama
Kota Tomohon.