Nonosoft

Nonosoft

Rabu, 10 Juli 2013

ASAL USUL SALAT TARAWIH

Asal-usul Taraweh



Sayyid Ali Fikri dalam bukunya “Khulashatul Kalam fi Arkanil Islam” halaman 114 menuturkan tentang salat tarawih sebagai berikut:
Orang yang pertama kali mengumpulkan orang-orang muslim untuk melakukan salat tarawih secara berjamaah dengan hitungan 20 rakaat adalah Khalifah Umar bin Khattab ra. dan disetujui oleh para sahabat Nabi pada waktu itu. Kegiatan tersebut berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Usman dan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Kegiatan salat tarawih secara berjamaah seperti ini terkait sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
“Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafaur Rasyidin”.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. bahkan menambah jumlah rakaatnya menjadi 36 (tiga puluh enam) rakaat. Tambahan ini beliau maksudkan untuk menyamakan dengan keutamaan dan pahala penduduk Makkah yang setiap kali selesai melakukan salat empat rakaat, mereka melakukan thawaf. Jadi Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. melakukan salat empat rakaat sebagai ganti dari satu kali thawaf agar dapat memperoleh pahala dan ganjaran berimbang.

Berdasarkan sunnah dari Khalifah Umar bin Khattab tersebut, maka :
1. Menurut madzhab Hanafi, Syafii dan Hambali, jumlah salat tarawih adalah 20 rakaat selain salat witir.
2. Menurut madzhab Maliki, jumlah salat tarawih adalah 36 (tigapuluh enam) rakaat, karena mengikuti sunnah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Adapun orang yang melakukan salat tarawih 8 (delapan) rakaat dengan witir 3 (tiga) rakaat, adalah mengikuti hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah yang berbunyi sebagai berikut:

َما كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَــــانَ وَلاَ فِى غَــيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رََكْعَةً ، يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْـاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْــاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَــلِّى ثَلاَثًا ، فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ اَنْ تُوْتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامُ وَلاَ يَـــــنَامُ قَلْبِى . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

“Tiadalah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan lainnya atas sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga rakaat. Kemudian aku (Aisyah) bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah Tuan tidur sebelum salat witir?” Beliau bersabda, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, sedang hatiku tidak tidur.”

Syekh Muhammad bin ‘Allan dalam kitab “Dalilul Falihin” jilid III halaman 659 menerangkan bahwa hadits di atas adalah hadits tentang salat witir, karena salat witir itu paling banyak hanya sebelas rakaat, tidak boleh lebih. Hal itu terlihat dari ucapan Aisyah bahwa Nabi saw. tidak menambah salat, baik pada bulan Ramadlan atau lainnya melebihi sebelas rakaat. Sedangkan salat tarawih atau “qiyamu Ramadlan” hanya ada pada bulan Ramadlan saja.
Ucapan Aisyah “beliau salat empat rakaat dan Anda jangan bertanya tentang kebagusan dan panjangnya”, tidaklah berarti bahwa beliau melakukan salat empat rakaat dengan satu kali salam. Sebab dalam hadits yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra. Nabi bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَاَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ .
“Salat malam itu (dilakukan) dua rakaat dua rakaat, dan jika kamu khawatir akan subuh, salatlah witir satu rakaat”.

Dalam hadits lain yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Umar juga berkata :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى وَ يُوْتِرُ بِرَكْعَةٍ .
“Adalah Nabi saw. melakukan salat dari waktu malam dua rakaat dua rakaat, dan melakukan witir dengan satu rakaat”.
Pada masa Rasulullah saw. dan masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, salat tarawih dilaksanakan pada waktu tengah malam, namanya bukan salat tarawih, melainkan “qiyamu Ramadlan” (salat pada malam bulan Ramadlan). Nama “tarawih” diambil dari arti “istirahat” yang dilakukan setelah melakukan salat empat rakaat. Disamping itu perlu diketahui, bahwa pelaksanaan salat tarawih di Masjid al-Haram, Makkah adalah 20 rakaat dengan dua rakaat satu salam.
Almarhum K.H. Ali Ma’sum Krapyak, Yogyakarta dalam bukunya berjudul “Hujjatu Ahlis Sunnah Wal Jamaah” halaman 24 dan 40 menerangkan tentang “Salat Tarawih” yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
* Salat tarawih, meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan, sepatutnya tidak boleh ada saling mengingkari terhadap kepentingannya. Salat tarawih menurut kami, orang-orang yang bermadzhab Syafii, bahkan dalam madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah 20 rakaat. Salat tarawih hukumnya adalah sunnah muakkad bagi setiap laki-laki dan wanita, menurut madzhab Hanafi, Syafii, Hambali, dan Maliki.
* Menurut madzhab Syafii dan Hambali, salat tarawih disunnahkan untuk dilakukan secara berjamaah. Madzhab Maliki berpendapat bahwa berjamaah dalam salat tarawih hukumnya mandub (derajatnya di bawah sunnah), sedang madzhab Hanafi berpendapat bahwa berjamaah dalam salat tarawih hukumnya sunnah kifayah bagi penduduk kampung. Dengan demikian apabila ada sebagian dari penduduk kampung tersebut telah melaksanakan dengan berjamaah, maka lainnya gugur dari tuntutan.
* Para imam madzhab telah menetapkan kesunnahan salat tarawih berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits sebagai berikut:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيَ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثٌ مُتَفَرِّقَةٌ لَيْلَةُ الثَّالِثِ وَالْخَامِسِ وَالسّابِعِ وَالْعِشْرِيْنَ وَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا ، وَكَانَ يُصَلِّى بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ أَيْ بِأَرْبَعِ تَسْلِيْمَاتٍ كَمَا سَيَأْتِى وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيَهَا فِى بُيُوْتِــــهِمْ أَيْ حَتَّى تَتِــــمَّ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً لِمَا يَأْتِى ، فَكَانَ يُسْمَعُ لَهُمْ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ النَّحْلِ .
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar pada waktu tengah malam pada bulan Ramadlan, yaitu pada tiga malam yang terpisah: malam tanggal 23, 25, dan 27. Beliau salat di masjid dan orang-orang salat seperti salat beliau di masjid. Beliau salat dengan mereka delapan rakaat, artinya dengan empat kali salam sebagaimana keterangan mendatang, dan mereka menyempurnakan salat tersebut di rumah-rumah mereka, artinya sehingga salat tersebut sempurna 20 rakaat menurut keterangan mendatang. Dari mereka itu terdengar suara seperti suara lebah”.
Dari hadits ini jelaslah bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam telah mensunnahkan salat tarawih dan berjamaah. Akan tetapi beliau tidak melakukan salat dengan para sahabat sebanyak 20 rakaat sebagaimana amalan yang berlaku sejak zaman sahabat dan orang-orang sesudah mereka sampai sekarang.
Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra. bahwa Nabi Muhammad saw. keluar sesudah tengah malam pada bulan Ramadlan dan beliau melakukan salat di masjid. Para sahabat lalu melakukan salat dengan beliau. Pada pagi harinya para sahabat memperbincangkan salat mereka dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sehingga pada malam kedua orang bertambah banyak. Kemudian Nabi saw. melakukan salat dan orang-orang melakukan salat dengan beliau. Pada malam ketiga tatkala orang-orang bertambah banyak sehingga masjid tidak mampu menampung para jamaah, Rasulullah saw. tidak keluar untuk jamaah, hingga beliau keluar untuk melakukan salat subuh. Setelah salat subuh, beliau menemui para jamaah dan bersabda, “Sesungguhnya tidaklah dikhawatirkan atas kepentingan kalian tadi malam; akan tetapi aku takut apabila salat malam itu diwajibkan atas kamu sekalian, sehingga kalian tidak mampu melaksanakannya!”.
Setelah Rasulullah saw wafat keadaan berjalan demikian sampai pada zaman kekhalifahan Abu Bakar dan permulaan kekhalifahan Umar bin Khattab ra. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. beliau mengumpulkan orang-orang laki-laki untuk berjamaah salat tarawih dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab dan orang-orang perempuan berjamaah dengan diimami oleh Usman bin Khatsamah. Oleh karena itu Khalifah Usman bin Affan berkata pada masa pemerintahan beliau, “Semoga Allah menerangi kubur Umar sebagaimana Umar telah menerangi masjid-masjid kita”.
Dari hadits Bukhari Muslim di atas menjadi jelas, bahwa jumlah salat tarawih yang mereka lakukan tidak terbatas hanya delapan rakaat, dengan bukti bahwa mereka menyempurnakannya di rumah-rumah mereka. Sedangkan pekerjaan Khalifah Umar ra. telah menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah 20, pada saat Umar ra. mengumpulkan orang-orang di masjid dan para sahabat menyetujuinya tak seorangpun dari para Khulafa’ur Rasyidun yang berbeda dengan Umar, sebab mereka tahu bahwa tentulah Umar menetapkan dua puluh rakaat ini diambil dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka terus menerus melakukan salat tarawih secara berjamaah sebanyak 20 rakaat. Makanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. رَوَاهُ أَبُوْدَاوُدَ
“Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafa ar-Rasyidun yang telah mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi geraham (berpegang teguhlah kamu sekalian pada sunnah-sunnah tersebut). HR Abu Dawud
Sebab Nabi shallallahu alaihi wa sallam paham betul bahwa sahabatlah orang yang paling tahu tentangnya dan paling mengikutinya.
Nabi Muhammad saw. juga bersabda sebagai berikut:
اِقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ
“Ikutlah kamu sekalian dengan kedua orang ini sesudah aku mangkat, yaitu Abu Bakar dan Umar”. HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.
Imam Abu Hanifah telah ditanya tentang apa yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau menjelaskan, “Salat tarawih adalah sunnah muakkadah. Umar ra. tidak menentukan bilangan 20 rakaat tersebut dari kehendaknya sendiri. Dalam hal ini beliau bukanlah orang yang berbuat bid’ah. Beliau tidak memerintahkan salat 20 rakaat, kecuali berasal dari sumber pokoknya yaitu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
أَصْحَابِى كَالنُّجُوْمِ بِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ.
“Para sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang di langit. Dengan siapa saja dari mereka kamu ikuti, maka kamu akan mendapatkan petunjuk”.
Memang, pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ra. yang pada waktu itu beliau mengikuti orang Madinah, bilangan salat tarawih ditambah dan dijadikan 36 rakaat. Akan tetapi tambahan tersebut dimaksudkan untuk menyamakan keutamaan dengan penduduk Makkah; karena penduduk Makkah melakukan thawaf di Baitullah satu kali sesudah salat empat rakaat dengan dua kali salam. Maka Umar bin Abdul Aziz ra. yang pada waktu itu mengimami para jamaah berpendapat untuk melakukan salat empat rakaat dengan dua kali salam sebagai ganti dari thawaf.
Ini adalah dalil dari kebenaran ijtihad dari para ulama dalam menambahi ibadah yang telah disyariatkan. Sama sekali tidak perlu diragukan bahwa setiap orang diperbolehkan untuk melakukan salat sunnah semampu mungkin pada waktu malam atau siang hari, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang untuk melakukan salat.

Wallahu a’lam

Disarikan dari makalah Drs. K.H. Achmad Masduqi Machfudh

http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/shalat_tarawih.single


   

Selasa, 14 Mei 2013

Menerobos Implementasi Pelajaran Agama Di Sekolah Beda Agama



Menerobos Implementasi Pelajaran Agama Di Sekolah
Oleh: Lastiko Runtuwene, S.Ag, M.Pd
Kepala Seksi Bimas Katolik Kementerian Agama Kota Tomohon.


Pendahuluan
Judul tulisan ini adalah ‘menerobos implementasi pelajaran agama di  sekolah.’ Memang diawali dengan kata ‘menerobos’, karena akan mencoba memaparkan gagasan yang barangkali sudah dipikirkan oleh banyak kalangan, akan tetapi sedikit ‘menganggu’ apa yang sedang diterapkan dalam pelaksanaan pelajaran agama di sekolah (terutama di sekolah swasta umum dengan ciri khas keagamaan).
Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pendewasaan manusia menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya meliputi keseluruhan dimensi kehidupan manusia: fisik, psikis, mental/moral, spiritual dan religius. Pendidikan dapat berlangsung secara formal di sekolah, informal di lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan dan nonformal dalam keluarga. Pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu upaya pendewasaan manusia pada dimensi spiritual-religius. Adanya pelajaran agama di sekolah di satu pihak sebagai upaya pemenuhan hakekat manusia sebagai makhluk religius (homo religiousus). Sekaligus di lain pihak pemenuhan apa yang objektif dari para siswa akan kebutuhan pelayanan hidup keagamaan. Agama dan hidup beriman merupakan suatu yang objektif menjadi kebutuhan setiap manusia.
Pelaksanaan pelajaran agama di sekolah selama ini sudah berjalan. Sekolah-sekolah di Indonesia memberlakukan/memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum. Pelajaran Pendidikan Agama merupakan salah satu pelajaran ‘wajib’, harus ada dan diterima oleh para siswa. Di Indonesia persekolahan-persekolahan swasta umum dengan ciri keagamaan tertentu menerapkan pelajaran agama sesuai dengan diri khas keagamaannya. Kenyataan di lapangan penerapan pelajaran agama di sekolah baik negeri dan swasta memuncukan dialektika atau bahkan menimbulkan problematika.
Problematika Pelajaran Agama di Sekolah Pelajaran agama di sekolah dalam implementasinya menimbulkan problematika konsepsional dan (sekaligus) operasional. 
Persoalan pertama secara konsepsional yakni, iman merupakan dimensi personal, hak asasi manusia. Hidup beragama dan beriman merupakan suatu yang personal, menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya. Dimensi personal iman merupakan misteri, menuntut keyakinan iman dan kebebasan penghayatannya yang tidak boleh ‘dipaksakan’ dari luar. Beragama dan menerima pelajaran agama merupakan hak asasi manusia.
Persoalan kedua, iman berkembang dalam dinamika hidup manusia dan sulit diukur secara kuantitatif berupa nilai angka. Pada tataran operasional, apabila guru memberikan nilai 8 (delapan) pada nilai pelajaran agama, nilai tersebut tidak menjadi ukuran untuk menilai keseluruhan iman siswa. Argumentasi yang dapat dikemukakan bahwa penilaian hanya pada aspek pengetahuan (kognitif) saja. Namun apabila dalam terminologi pedagogik, bahwa proses pendidikan termasuk penilaian hendaknya mencakup tiga aspek ranah; kognitif, afektif dan psikomotor. Memang ada upaya-upaya untuk memberikan penilaian pada tiga ranah tersebut secara komprehensif. Akan tetapi tetap menimbulkan kesulitan tertentu. Bagaimana mungkin nilai hanya 0 s.d. 10 diberikan kepada sejumlah siswa. Tentu ada siswa memiliki nilai yang sama. Pertanyaannya, apakah siswa yang memiliki nilai yang sama: pengetahuan, penghayatan dan implementasi iman mereka sama? Kesulitan lain, yakni mengapa guru jarang atau tidak pernah memberikan nilai kurang dari 6 atau nilai 10 pada pelajaran agama?
Ketiga, Internalisasi dan implementasi iman. Pendidikan agama membutuhkan sikap dasar iman untuk internalisasi (pembatinan) nilainilai/ajaran gama yang disampaikan. Proses pembatinan ajan iman mengandaikan adanya sikap iman. Kenyataan di sekolah (terutama sekolah dengan ciri khas keagamaan, juga di beberapa sekolah negeri) banyak pelajaran agama tertentu diberikan kepada siswa dengan perbedaan agama. Proses pembatinan nilai/ajaran sulit terjadi, para siswa hanya menangkap sebagai suatu pengetahuan tetapi tidak sampai pada penghayatan dan perwujudan nilai/ajaran iman karena tidak sesuai dengan iman/agamanya. Proses pendidikan yang utuh apabila pelajaran agama sampai pada penghayatan dan pembentukan sikap. Misalnya guru akan mengalami kesulitan mengajar tentang berdoa Katolik dan akan dipratekkan oleh siswa Islam, Budha atau Hindhu. Bagaiman mungkin siswa Islam dalam suasana kekhusukan berdoa secara Kristen. Atau sebaliknya guru Islam mengajar tentang solat lima waktu dan mengajak siswa Kristen untuk mempraktekkannya.
Keempat, penyajian pelajaran agama masih formalistik-ritual. Oleh banyak ahli pelajaran agama di Indonesia meragukan efek positifnya. Pelajaran agama masih sering disajikan secara formalisti-ritual belaka, tanpa usaha membangun sikap-sikap keterbukaan dan tanggung-jawab etis. Lebih memprihantinkan lagi, adanya keluhan bahwa banyak guru agama yang memiliki paradigma eksklusif, berpikiran sempit dan tertutup.
Kelima, kekurangan atau tidak tersedianya tenaga pengajar agama. Di satu pihak pemerintah dengan regulasi-regulasi yang ada, ‘mewajibkan’ setiap siswa mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agamanya. Namun kenyataan bahwa banyak siswa yang menerima pelajaran agama tidak sesuai dengan agamanya, disebabkan tidak tersedianya guru agama (ataupun guru agama yang kompeten). Tidak jarang guru mata pelajaran lain mengajar pelajaran agama. Tentunya ini baik juga, namun tidak ideal. Masih banyak juga guru agama yang tidak memiliki kapasitas dan kompetensi mengampuh mata pelajaran agama. Program-program pemerintah untuk penyediaan tenaga pengajar agama dan peningkatan kualitas pengajar agama (dengan program sertifikasi dan pelatihan-pelatihan) belum menjangkau seluruh guru.
Kelima, fasilitas pelajaran agama yang kurang/tidak representatif. Kenyataan di lapangan pelajaran agama yang tidak ada sekolah-sekolah negeri, khususnya siswa yang jumlahnya lebih sedikit sering tidak mendapatkan tempat/ruang dan jadual yang representatif untuk pelajaran agama. Kemungkinan Penerapan Pelajaran Agama Di Sekolah
Hak kebebasan beragama dalam kaitan dengan masalah pelajaran agama berarti orangtualah yang berhak menentukan, apakah, di manakah, dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama. Hak asasi orang tua memuat hak agar anak mereka tidak diberi pelajaran agama yang tidak dikehendaki. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pasal 12, ayat (1) huruf a, mengamanatkan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Bukan hanya di sekolah negeri, juga di sekolah swasta, bahwa setiap siswa berhak mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan agamanya harus dipenuhi, maka pemerintah berkewajiban menyediakan/mengangkat tenaga pengajar agama untuk semua siswa sesuai dengan agamanya baik sekolah negeri maupun swasta. Pasal 55, ayat (5) menegaskan: “Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumber daya lian secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Penyelenggaraan sekolah umum dengan ciri keagamaan merupakan hak masyarakat. UU No. 20 Tahun 2003, pasal 55 menegaskan: “Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.” Penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah sesuai dengan ciri keagamaan merupakan hak sekaligus kewajiban sekolah yang diselengarakan oleh masyarakat. PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 3 menegaskan: “Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.” Hal mendapatkan pelajaran agama memang hak orang tua dan siswa Hak-hak sebagai warga Negara harus dijamin oleh pemerintah.
Dalam sejarah dan data pendidikan di Indonesia, persekolahan yang diselenggarakan oleh masyarakat, lembaga keagamaan, ataupun personal dan organisasi begitu banyak jumlah, melebihi sekolah-sekolah negeri yang ada dan telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan Indonesia. Maka pemerintah berkewajiban memperhatikan keberadaan sekolah swasta sama dengan sekolah negeri termasuk pelajaran agama.
Bukan suatu keniscayaan di sekolah swasta umum dengan ciri khas keagamaan tertentu, pelajaran agama diberikan untuk semua siswa sesuai dengan agamanya, dan oleh guru agama yang seagama. Selama ini masih berlaku sekolah dengan basis keagamaan hanya memberikan pelajaran agama sesuai dengan ciri khas keagamaan sekolah tersebut. Di sekolah negeri tidak menjadi persoalan, walaupun pemerintah belum sepenuhnya secara merata menyediakan pengajar dan fasilitas yang memadai. Memang konsekuensinya adalah sekolah menyediakan guru agama sesuai dengan agama siswanya, menyediakan fasilitas pelajaran agama, dsb. Apakah harus ada rumah ibadah macam-macam agama di sekolah swasta? PP. No. 55 Tahun 2007, pasal pasal 4, ayat (7) menegaskan: “Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.”
Dalam konteks otonomi sekolah, setiap sekolah umum keagamaan berhak hanya menawarkan pelajaran agama sesuai dengan ciri khasnya. Misalnya sekolah Katolik berhak hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Kristen hanya menawarkan pelajaran agama Kristen, sekolah Islam hanya menawarkan pelajaran agama Islam. Akan tetapi sekolah tidak berhak mewajibkan siswa-siswanya dari agama lain mengikuti pelajaran agama sesuai dengan cirri khas keagamaan sekolah yang bersangkutan. Misalnya apabila sekolah Kristen atau Katolik menerima siswa bukan Kristen-Katolik, sekolah tersebut tidak berhak mewajibkan atau menekan orangtua untuk mengizinkan anak mereka yang bukan Kristiani mengikuti pelajaran agama Kristen-Katolik. Dalam konteks pluralisme, apabila sekolah swasta dengan ciri khas keagamaan memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari pluralitas agama, pendirian orangtua mereka masing-masing wajib dihormati. Itulah yang namanya pluralisme. Maka tidak menjadi masalah, kalau sekolah dengan basis keagamaan tertentu menerima pelajaran dan guru agama lain.
Menurut hemat penulis, hadirnya pelajaran agama dan guru agama yang tidak sesuai dengan ciri khas keagamaan sekolah tersebut tidak menghilangkan ciri khas dan otonomi keagamaan sekolah. Adanya beberapa guru agama yang berbeda dapat membuka peluang untuk saling berinteraksi, berdialog dan berbagi ajaran dan pengalaman iman dalam suatu kelompok rumpun mata pelajaran agama. Pelajaran dan pendidikan agama semakin diperkaya dengan adanya pelbagai perbedaan. Adagium: “kesatuan dalam kepelbagaian” menjadi hal yang bukan mustahil diwujudkan. Suasana ini akan mendorong perilaku inklusif untuk bertoleransi dan membangun sikap saling menghormati perbedaan. Nilainilai pluralitas dapat berkembang yang pada akhirnya dihindari perilaku fanatisme sempit, bahkan dapat dihindari perilaku radikalisme keagamaan. Sistem ini bukan merupakan seuatu kemunduran atau ancaman. Akan tetapi justru merupakan suatu langkah bijaksana dan maju menuju sikap beriman yang inklusif dalam suatu tatanan komunitas beriman yang sejati.
Sekolah swasta umum dengan ciri keagamaan memiliki hak otonomi untuk menentukan ataupun menerima guru agama yang akan mengampuh mata pelajaran agama. Misalnya sekolah katolik menerima guru agama Islam, Kristen, Hindhu, dan Budha. Demikian sebaliknya. Sekolah berhak menilai dan membina serta memperhatikan isi (konten) materi pelajaran yang diberikan. Kepentingan sekolah swasta keagamaan adalah guru agama tersebut berwawasan inklusif, humanis, memenuhi kecerdasan yang memadai dan membantu proses pembentukan sikap dan perilaku hidup keagamaan dan kemanusiaan para siswa. Sekolah memastikan terjaminnya isi ajaran dan proses pembelajaran agama mendorong pembentukan sikap dan perilaku nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, yang dibutuhkan untuk kesejahteraan dan ketenteraman hidup bersama. Kondisi ini membutuhkan komunikasi yang jujur dan terbuka. Siswa, guru agama dan orang tua dari agama lain diharapkan untuk menghormati kekhasan dan aturan sekolah.
Kemungkinan lain, sekolah memberikan kesempatan kepada para siswa yang beragama lain menerima/mengikuti pelajaran agama diberikan di luar sekolah atau di luar jam pelajaran di sekolah bagi siswa yang beragama lain dalam program kurikulum sekolah. Dalam hal ini guru dan/atau lembaga keagamaan lain. Sekolah tetap bertanggung-jawab dan memastikan siswanya mengikuti pelajaran agama. Untuk itu koordinasi dan komunikasi pembinaan iman melalui pelajaran agama di luar sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga keagamaan lain tetap harus ada. Kecuali itu, sekolah harus memastikan bahwa guru atau lembaga keagamaan yang membantu menyelenggarakan pelajaran agama di luar sekolah menjamin proses pemanusiaan (humanisasi) yang sejati.
Penutup
Memang kondisi sekolah-sekolah swasta dengan ciri keagamaan, sampai saat ini masih memberikan pelajaran agama untuk semua siswa dengan satu mata pelajaran sesuai dengan ciri khas keagamaanya barangkali tidak/belum menjadi persoalan; masih tetap mempertahankannya dengan rupa-rupa argumentasi. Akan tetapi apa yang sudah dipaparkan sebagai suatu antisipasi dan pemikiran yang dapat diterapkan di masa mendatang. Dinamika regulasi pendidikan dan perkembangan teknologi pendidikan di Indonesia bahkan refleksi teologis dan pedagogik akan terus berkembang melampaui apa yang ada sekarang. Diskusi-diskusi selanjutnya sangat diharapkan. Demikianpun kemungkinan-kemungkinan lain tentang penerapan lain tentang pelajaran agama di sekolah swasta dengan ciri keagamaan akan sangat membantu untuk kemajuan pendidikan secara umum, dan terlebih daripada itu untuk membantu para siswa untuk berkembang sesuai dengan keberadaannya.
Tomohon, Maret 2013
Penulis saat ini adalah sebagai Kepala Seksi Bimas Katolik
Kementerian Agama Kota Tomohon.

Senin, 18 Maret 2013

Cara Mudah menulis Al Qur'an dengan Nonosoft Khot 3

 NOSOFT KHOT 3

Nonosoft KHOT merupakan editor teks arab yang mempunyai sistem penulisan berbeda (tidak kompatibel) dengan sistem arabic bawaan Windows, sehingga dokumen yang huruf-huruf arabnya diketik menggunakan Nonosoft KHOT tidak bisa diedit oleh editor arabic semacam Office Arabic ataupun semua editor yang menggunakan sistem unicode dalam penulisan arabicnya, begitu pula sebaliknya.

Dengan demikian Nonosoft KHOT tidak memiliki kemampuan seperti editor yang menggunakan sistem arabic unicode, dimana dalam perubahan bentuk huruf dan format paragraf sepenuhnya diatur oleh lingkungan windows. Selain itu sifat tulisan arabnya tidak universal, misalnya tidak bisa langsung digunakan pada penulisan huruf arab di website atau semua aplikasi online tanpa menyertakan/menginstal font-font pendukungnya pada komputer user.

Meski dengan keterbasan-keterbatasan tersebut, Nonosoft KHOT juga mempunyai fitur yang tidak terdapat pada editor-editor yang lain. Dan memang pemilihan sistem penulisan arabic yang berbeda dengan bawaan windows, sudah diniatkan sejak awal pengembangan agar Nonosoft KHOT memiliki ciri tersendiri diantara berbagai software editor teks arab yang ada. Karena fasilitas pengaturan dokumennya belum sebaik MS-Office, Adobe, Corel atau software-software yang sudah mapan dan dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan besar, maka pengoperasian Nonosoft KHOT (jika untuk kebutuhan layout/percetakan) ebaiknya digunakan bersama editor-editor teks/gambar tersebut agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Untuk mendukung hal itu, pada proses copy/paste di versi 3 sudah ditambahkan beberapa format selain RTF (Rich Text Format) yang sudah ada sejak versi 1, yaitu format HTML, Image Metafile dan Bitmap. Dengan kemampuan copy/paste dalam beberapa format tersebut, menjadikan tulisan arab dari Nonosoft KHOT dapat dipindah ke berbagai editor teks/gambar dengan mudah.
Adapun fasilitas yang tersedia :
Contoh Penggunaan :
Untuk memudahkan pengoperasian NS-Khot, diberikan beberapa contoh tulisan arab yang disertai dengan langkah-langkah penulisannya. Mulai dari penulisan arab tanpa tanda harakat sampai penggunaan karakter-karakter spesial. Keyboard Mapping diset pada mode Standard. Selain itu juga disediakan contoh penyisipan tulisan arab dari NS-Khot ke beberapa program text/image editor.

Software Nonosoft direkomendasikan sebagai salah satu yang digunakan dalam Lomba Komputer Islami dalam MAPSI SD Tingkat Jawa Tengah

Dalam Lomba Komputer MAPSI, Semua jenis tulisan Arab boleh, juaranya pasti pakai Nonosoft


Dapatkan Nonosoft lewat agen resmi Jawa Tengah :

MUHYIDIN HM, S.Ag

 Jl. Purwomukti Selatan IV / 06
Pedurungan Lor - Pedurungan
E-mail: mutudigital@gmail.com
Telp. 024-6722138 / 081325940250
http://mutudigitallearning.blogspot.com
http://www.nonosoft.jifisa.net/agen-nonosoft-khot.php

Dasar-dasar Hukum Qunut Shalat Shubuh




HADITS PERTAMA
Dari Muhammad bin Sirin, bahwa ia berkata, “aku berkata kepada anas bin malik r.a, “apakah rasulullah saw. qunut pada sholat shubuh? ‘ia menjawab, ‘ya, sesaat setelah rukuk.”  Shahih Muslim ( I:468no.298)
HADITS KEDUA
Dikatakan oleh Umar bin Ali Al Bahiliy, dikatakan oleh Khalid bin Yazid, dikatakan Abu Ja’far Ar-Razy, dari Ar-Rab i’ bin Anas berkata : Anas ra ditanya tentang Qunut Nabi saw bahwa apakah betul beliau saw berqunut sebulan, maka berkata Anas ra : beliau saw selalu terus berqunut hingga wafat, lalu mereka mengatakan maka Qunut Nabi saw pada shalat subuh selalu berkesinambungan hingga beliau saw wafat, dan mereka yg meriwayatkan bahwa Qunut Nabi saw hanya sebulan kemudian berhenti maka yg dimaksud adalah Qunut setiap shalat untuk mendoakan kehancuran atas musuh musuh, lalu (setelah sebulan) beliau saw berhenti, namun Qunut di shalat subuh terus berjalan hingga beliau saw wafat.
Berkata Imam Nawawi : mengenai Qunut subuh, Rasul saw tak meninggalkannya hingga beliau saw wafat, demikian riwayat shahih dari anas ra. (Syarah Nawawi ala shahih Muslim) dan hadits tersebut juga dishahihkan an-Nawawi dalam al-Majmu’-nya (III:504). Ia berkata, ‘Hadits tersebut shahih dan diriwayatkan oleh sejumlah penghapal hadits, dan mereka menshahihkannya. Diantaranya yang menshahihkannya adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu ‘Abdillah dalam beberapa judul kitabnya, dan al-Baihaqi. Hadits itu diriwayatkan juga oleh ad-Daruquthni dari berbagai jalan periwayatan dengan sanad yang shahih”
Dan berkata Imam Ibnu Abdul Barr : sungguh telah shahih bahwa Rasul saw tidak berhenti Qunut subuh hingga wafat, diriwayatkan oleh Abdurrazaq dan Addaruquthniy dan di shahihkan oleh Imam Alhakim, dan telah kuat riwayat Abu Hurairah ra bahwa ia membaca Qunut shubuh disaat Nabi saw masih hidup dan setelah beliau saw wafat,
Dan dikatakan oleh Al Hafidh Al Iraqiy, bahwa yg berpendapat demikian adalah Khulafa yg empat (Abubakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu’anhum), dan Abu Musa ra, Ibn Abbas ra, dan Al Barra’, dan lalu diantara para Tabiin : Hasan Al-bashriy, Humaid, Rabi’ bin khaytsam, Sa’id ibn Musayyab, Thawus, dan banyak lagi, dan diantara para Imam yg berpegang pada ini adalah Imam Malik dan Imam Syafii,
Walaupun ada juga yg mengatakan bahwa Khulafa Urrasyidin tidak memperbuatnya, namun kita berpegang pada yg memperbuatnya, karena jika berbenturan hukum antara yg jelas dilakukan dengan yg tak dilakukan, maka hendaknya mendahulukan pendapat yg menguatkan melakukannya daripada pendapat yg menghapusnya. (Syarh Azzarqaniy alal Muwatta Imam Malik).
Sebagian ulama mengkritik hadits ini (Ibnu Hambal dan An-Nasa’I, Abu Zur’ah, Al-Fallas, Ibnu Hibban)  karena bagaimana bisa sanadnya menjadi shahih sedang rawi yang meriwayatkannya dari Ar-Rab i’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan Ar-Razy.
Penjelasan :
Ibnu Hajar Al-Asqalaniy dalam Taqrib-Tahdzib Beliau berkata : “Shoduqun sayi’ul hifzh khususon ‘anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).
Tetapi perlu diketahui disini bahwa Abu ja’far itu jelek hafalannya dalam meriwayatkan hadits dari mughirah saja, sebagaimana dikatakan oleh para imam ahli hadits yang menganggap bahwa Abu ja’far itu tsiqah(terpercaya). Mereka yang menganggapnya tsiqah, seperti yahya bin Mu’in dan ali bin al-Maldini(1). Hadits ini tidak diriwayatkan oleh Abu ja’far dari Mughirah. Tetapi ia meriwayatkannya dari ar-Rabi’ bin Anas, sehingga -disini- haditsnya shahih.
(1). Adalah Abu al-Hasan Ali Ibnu Abdullah Ibnu Ja’far al-Maldiniy al-Bashriy, dilahirkan tahun 161 H dan wafat 234 H.
Berkata Imam Ibnu Hajar AL Asqalaniy : Dan telah membantah sebagian dari mereka dan berkata : Telah sepakat bahwa Rasul saw membaca Qunut Subuh, lalu berikhtilaf mereka apakah berkesinambungan atau sementara, maka dipeganglah pendapat yg disepakati (Qunut subuh), sampai ada keterangan yg menguatkan ikhtilaf mereka yg menolak (Fathul Baari Bisyarah shahih Bukhari oleh Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy)
HADITS KETIGA
Ada orang yg berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw melakukan qunut satu bulan saja berdasarkan hadits Anas ra, maksudnya:
“Bahwasanya Nabi saw melakukan qunut selama satu bulan sesudah rukuk sambil mendoakan kecelakaan  atas beberapa orang Arab kemudian Rasulullah meninggalkannya.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
->:
Hadith daripada Anas tersebut kita akui sebagi hadits yg sahih karena terdapat dlm kitab Bukhari dan Muslim. Akan tetapi yg menjadi permasalahan sekarang adalah kata:(thumma tarakahu= Kemudian Nabi meninggalkannya).
Apakah yg ditinggalkan oleh Nabi itu ?
Meninggalkan qunutkah ? Atau meninggalkan berdoa yg mengandung kecelakaan  atas orang-orang Arab?
Untuk menjawab permasalahan ini  kita perhatikan baik2 penjelasan Imam Nawawi dlm Al-Majmu’jil.3,hlm.505 maksudnya:
“Adapun jawapan terhadap hadits Anas dan Abi Hurairah r.a dlm ucapannya dengan (thumma tarakahu) maka maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan ke atas orang2 kafir itu dan meninggalkan laknat terhadap mereka saja. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau meninggalkan qunut pada selain subuh. Pentafsiran spt ini mesti dilakukan karena hadits Anas di dlm ucapannya ‘sentiasa Nabi qunut di dlm solat subuh sehingga beliau meninggal dunia’ adalah sahih lagi jelas maka wajiblah menggabungkan di antara kedua-duanya.”
Al-Hafizh al-Imam Baihaqi meriwayatkan dalam as-sunan al-Kubra (II:201) dari al-Hafizh ‘AbdurRahman bin Madiyyil, bahwasanya beliau berkata, maksudnya:
“Hanyalah yg ditinggalkan oleh Rasulullah itu adalah melaknat.”
Tambahan lagi pentafsiran spt ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yg berbunyi, maksudnya:
“Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan ke atas mereka.”
Dengan demikian dapatlah dibuat kesimpulan bahwa qunut Nabi yg satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yg ditinggalkan, bukan qunut pada waktu solat subuh.
HADITS KEEMPAT
Al-’Awwan bin hamzah berkata,” aku bertanya kepada Abu ‘Utsman an-Nahdi tentang qunut. Ia menjawab, ‘setelah rukuk.’ Aku berkata, ‘Dari siapa engkau mengetahui hal itu?’ Ia menjawab, ‘Dari Abu Bakar dan Utsman r.a. (HR. Ibnu Abi Syaibah(2)(II:212 Dar al-Fikr)dengan sanad yang shahih).
(2). Adalah Abu Al-Hasan Utsman ibnu Muhammad ibnu Abu Syaibah al-kuufiy.dilahirkan tahun 156 H dan wafat tahun 239 H. kitab beliau “Mushannaf Ibnu Abu Syaibah.
HADITS KELIMA
‘Abdullah bin Ma’qil r.a. meriwayatkan, “Dua orang sahabat Rasulullah saw. yang biasa qunut dalam shalat shubuh adalah ‘Ali r.a. dan Abu Musa r.a (HR.Ibnu Abi Syaibah(II:211 Dar al-Fikr).dengan sanad yang shahih).
HADITS KEENAM
Abu Utsman an-Nahdi(3)Meriwayatkan,” Umar bin al-Khattab r.a qunut dengan kami setelah rukuk dan mengangkat kedua tangannya sampai keliatan ketiaknya, dan suaranya pun terdengar dari belakang masjid.(HR.Ibnu Syaibah(II:215 Dar al-Fikr) dengan sanad yang Hasan.
(3). Abu Utsman an-Nahdi adalah seorang imam hadits yang tsiqah tsabit termasuk orang yang haditsnya diriwayatkan oleh imam yang enam.
Juga diriwayatkan dari Abu Utsman an-Nahdi r.a bahwa, “Umar r.a mengangkat kedua tangannya pada qunut shubuh.
HADITS KETUJUH
Abu Hurairah r.a juga meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. suka qunut setelah bangkit dari rukuk rakaat kedua shalat shubuh.(HR. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Mukhtashar Qiyam al-Lail (hal.137) dengan sanad yang shahih.
HADITS KEDELAPAN
Abu Raja’ al-’Atharidi berkata, “Abdullah bin Abbas r.a qunut pada shalat shubuh dengan kami di Bashrah”.(HR.Ibnu Syaibah dalam al-Mushannaf(II:211) dan sanadnya shahih seperti terangnya matahari.
HADITS KESEMBILAN
Ibnu Abi Laila r.a(4) Berkata, “Qunut dalam shalat shubuh merupakan tradisi yang turun-temurun (sunnah madhiyah). (HR. Ibnu Abi Syaibah (II:211) dengan sanad yang shahih.
(4). Nama lengkap Ibnu Abi Laila adalah Imam ‘Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Madani al-Kufi, seorang tsiqah dan faqih termasuk periwayat hadits dalam kitab yang enam. Ia dilahirkan pada masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq atau sebelumnya. Ia belajar membaca alquran kepada khalifah ‘Ali bin Abu thalib r.a dan bersahabat dengannya. Ia wafat pada peristiwa al-jamajim.
“HADITS DOA QUNUT SHUBUH”
HADITS PERTAMA
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: Adalah Rasulullah saw. Bila bangun dari ruku dalam  shalat shubuh pada rakaat yang kedua beliau mengangkat kedua tangannya dan membaca doa qunut “Allaahummahdinii fiiman hadaiit…………”
HR. Hakim dan berkata: “Hadits shahih dan ditambahkan dalam hadits tersebut lanjutan doa ” Falakal hamdu ‘alaa maa qadlait…..” HR. Baihaqiy dari ibnu Abbas (Subulus salam Juz I /188) Dan Imam al-Baihaqiy dan Thabaraniy menambahkan: ” Walaa yaizzu man ‘Adait “.(Subulus salam I /186).
HADITS KEDUA
Dari Muhammad Ibnu al-Hanafiyah Ibnu Ali Ibnu Abu Thalib ra. Ia berkata : Bahwa doa ini (Allaahummahdinii…..) adalah doa yang diajarkan ayahku kepadaku untuk dibaca pada shalat shubuh  yaitu pada qunut shalat shubuh”. HR. Baihaqiy (Sunan Baihaqiy juz II/210).
HADITS KETIGA
Dari Ibnu Abbas r.a Ia berkata : Bahwa Rasulullah saw. mengajarkan kepadanya doa ini (Allaahummahdinii….) yang dibaca dalam qunut shubuh”. HR. Baihaqiy (Sunan Baihaqiy Juz II /210).
HADITS KEEMPAT
Abu Rafi’ Nafi’ bin Rafi’ ash-Sha’igh Meriwayatkan: ” Aku shalat shubuh dibelakang ‘Umar bin al-Khattab r.a setelah rukuk, ia qunut. Aku mendengar ia membaca:
Allaahumma innaa nastaii’nuka wanastag’firuka wanusynii a’laika walaanakfuruka wanu’minubika wanakhlau’ wanatruka mayyafjuruka, Allaahumma iyyaakana’budu walaka nushollii wanasjudu wailaika nas a’ wanahfadu wanarjuu rohmataka wanakhofu a’dzaabaka inna a’dzaabaka bilkuffaa rimulhaqq ………………”
HR. ‘Abdurrazaq(5) dalam al-Mushannaf (III:210 no.4968) dengan sanad yang shahih mengikuti syarat Imam Muslim dan diriwayatkan pula oleh yang lain.
Imam ‘Abdurrazzaq r.a mengatakan, ” Ketika aku menjadi Imam, aku membaca doa qunut ini, kemudian membaca : “Allaahummahdinii fiiman hadaiit …….”
(5). Adalah Abu Bakar Abdur Razzaq Ibnu Hammam Ibnu Nafi’ al-Himyari Ash-Shan’aniy. Dilahirkan pada tahun 126 H. wafat Tahun 211 H. Kitab beliau dikenal dengan sebutan “Mushannaf Abdurrazzaq”.
Doa qunut serupa ini juga yang dipilih Imam Malik ibnu Anas(93-179H) berdasarkan riwayat dari Ubayy bin Ka’b (lihat An-nawawi, Al-Majmu’ III/436).
“Jawaban atas  hadits Sa’ad bin Thariq yg juga bernama Abu Malik Al-Asja’I”
“Dari Abu Malik Al-Asja’i, beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada bapakku, wahai bapak ! sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Usman dan Ali bin Abi Thalib di sini di kufah selama kurang lebih dari lima tahun. Adakah mereka melakukan qunut?.
Dijawab oleh bapaknya: “Wahai anakku, itu adalah bid’ah.” Diriwayatkan oleh Tirmidzy no.402
->:
Kalau benar Saad bin Thariq berkata begini maka sungguh mengherankan karena hadits2 tentang Nabi dan para Khulafa Rasyidin yg melakukan qunut sangat banyak dan ada di dlm kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasa’i dan Baihaqi.
Oleh itu ucapan Saad bin Thariq tersebut tidaklah diakui dan terpakai di dalam mazhab Syafie dan juga mazhab Maliki.
Hal ini disebabkan oleh karena beribu-ribu orang telah melihat Nabi melakukan qunut, begitu pula sahabat Rasulullah. Manakala hanya Thariq seorang saja yg mengatakan qunut itu sebagai amalan bid’ah.
Maka dlm kasus ini berlakulah kaedah usul fiqih yaitu:
“Almuthbitu muqaddimun a’la annafi”
Maksudnya: Orang yg menetapkan lebih didahulukan atas orang yg menafikan.
Tambahan lagi orang yg mengatakan ADA jauh lebih banyak daripada orang yang mengatakan TIDAK ADA.
Seperti inilah jawaban Imam Nawawi didalam Al-Majmu’ jilid.3,hlm.505, maksudnya:
“Dan jawapan kita terhadap hadits Saad bin Thariq adalah bahwa riwayat orang-orangyang menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu dan juga mereka lebih banyak. Oleh itu wajiblah mendahulukan mereka”
Pensyarah hadith Turmizi yakni Ibnul ‘Arabi juga memberikan komentar yg sama terhadap hadith Saad bin Thariq itu. Beliau mengatakan:”Telah sah dan tetap bahwa Nabi Muhammad saw melakukan qunut dalam shalat subuh, telah tetap pula bahwa Nabi ada qunut sebelum rukuk atau sesudah rukuk, telah tetap pula bahwa Nabi ada melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinah pun melakukan qunut serta  Umar bin khattab r.a mengatakan bahwa qunut itu sunnah,telah pula diamalkan di Masjid Madinah. Oleh itu janganlah kamu dengar dan jgn pula ambil perhatian terhadap ucapan yg lain daripada itu.”
Dgn demikian dapatlah kita fahami ketegasan Imam Uqaili yg mengatakan bahwa Saad bin Thariq itu jangan diikuti haditsnya dlm masalah qunut.(Mizanul I’tidal jil.2,hlm.122)
Untuk mendalami masalah qunut shubuh dapat dibaca pada kitab:
Al-Badai I/273. A-Lubab 1/78. Fathu al-Qadir I/309. Ad-Durru al-Muhtar I/626-628. Al-Syarhu al-Shaghir I/331. Al-Syarhu al-Kabir I/248. Al-Qawanin al-Fiqhiyyah hal.61. Mughniy al-Muhtaj I/166. Al-Majmuk II/474-490. Al-Muhadzab I/81. Hasyiyah al-Bajuriy I/168. Al-Fiqh al-Islamiy wa-adillatuhu I/809-814.
Dan untuk lebih lengkapnya dan serinci-rincinya silahkan merujuk kepada karangan Hasan bin ‘ali As-saqqaf yang diberi judul “al-Qaul al-Mabtut fi Shihhati Hadits Shalah ash-Shubh bi al-Qunut”. Untuk mendapatkannya/membelinya silahkan anda menulis kealamat dibawah ini :
DAR AL-IMAM AN-NAWAWI HOUSE POSTBUS 925393 AMMAN YORDANIA

http://tanbihun.com/kajian/hadits/hadits-hadits-qunut-shubuh/