Nonosoft

Nonosoft

Rabu, 15 Agustus 2012

Islam, Halal Bihalal, dan Tradisi

Islam, Halal Bihalal, dan Tradisi

OPINI 
Di Arab Saudi, di tanah kelahiran Islam, tradisi halal bihalal justru tak dikenal. Juga di sebagian besar negara-negara muslim di dunia. Dalam al-Quran dan Hadis, kata itu juga tak ditemukan. Tradisi ini hanya khas di Indonesia.
Di kampung saya, tradisi bermaaf-maafan biasanya dilakukan sejak usai shalat Idul Fitri, usai berziarah, atau selepas Magrib. Mereka mendatangi satu rumah ke rumah lainya, terutama pemilik rumah yang lebih tua atau dituakan.
Tak hanya di kampung-kampung, tradisi saling bermaaf-maafan ini juga menjadi tradisi rutin yang digelar instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta. Para pemimpin instansi dan perusahaan itu menjadikan momen halal bihalal sebagai medium bermaaf-maafan kepada karyawan dan bawahannya. Begitu sebaliknya.
Di Indonesia, kata “halal bihalal” sendiri memilki makna khusus. Maknanya lebih dekat dengan pengertian saling memaafkan atas segala salah dan khilaf agar bisa kembali menjadi manusia suci (fitr). Karena itu, pan perkataan yang biasa dilontarkan: Minal Aidin wal Faizin, semoga termasuk orang-orang yang kembali dan beruntung.
Padahal, kata “halal” umumnya terkait erat dengan konteks hukum berarti sesuatu yang diizinkan atau dibolehkan. Maknanya meliputi sesuai yang boleh dimakan atau dilakukan. Lawan katanya, “haram”, sesuatu yang dilarang dan bagian dari lima kriteria hukum selain wajib, sunnah, makruh, dan mubah. Keempat kategori itu masuk dalam kategori halal. Meski begitu, M. Quraish Sihab menegaskan, pengertian “halal bihalal” ini sebaiknya tak dipahami dalam pengertian hukum. Sebab bisa menimbulkan ketakharmonisan antarsesama (M. Quraish Shihab: 2007).
Meski tak hadir di Arab Saudi dan tak hidup di masa Nabi Muhammad atau para Sahabat, halal bihalal di Indonesia tak berarti kehilangan nilai keislamannya. Tradisi itu justru terobosan dan bentuk kreativitas muslim Indonesia dalam menjaga dan mengembangkan nilai-nilai dan syiar keislaman. Ia produk nyata dari sesuatu yang disebut KH. Abdurrahman Wahid sebagai “pribumisasi Islam”, proses membumikan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi atau budaya di mana kaum muslimin hidup. Dengan cara kreatif itulah Islam bisa diterima dan bisa berkembang di banyak tempat.
Nilai keislaman tradisi itu justru harus dilihat dari ketersambungannya dengan nilai dan prinsip-prinsip dasar Islam. Jika tujuan dasar halal bihalal adalah prinsip saling memaafkan, maka jelas ia sebangun dengan nilai-nilai yang diajarkan al-Quran dan hadis. SQ. Ali Imron ayat 134 misalnya menyebut, salah satu ciri orang bertakwa adalah mereka yang memaafkan manusia yang bersalah. Sebuah hadis riwayat Abu Daud juga menjelaskan, jika dua orang Muslim bertemu lantas keduanya saling berjabat tangan maka dosa keduanya diampuni Allah sebelum mereka berpisah. Tidakah ini sesuatu yang islami?
Dalam ushul fikih (dasar-dasar hukum Islam), tradisi atau adat masyarakat yang tak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam bisa diterima, bahkan dapat dijadikan hukum. Kaidah yang masyhur, al-‘adat muhakkamah, adat dapat menjadi dasar hukum.
Sejarah syariat Islam sendiri menyuguhkan fakta penerimaan Islam terhadap budaya yang telah berkembang sebelumnya. Karena tak lahir di ruang hampa, syariat Islam menerima unsur-unsur kebudayaan dan tradisi yang hidup sebelumnya.
Khalil Abdul Karim dalam Al-Judzur at-Tarikhiyyah li asy-syariah al-Islamiyyah, diterjemahkan penerbit LkiS Yogyakarta dengan Syari’ah, Sejarah Perkelahian Pemaknaan, menunjukan bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad mengadopsi sejumlah tradisi Arab sebelum Islam. Di antaranya tradisi pengagungan Ka’bah. Menurut intelektual muslim Mesir itu, meski terdapat dua puluh Ka’bah di seantero semenanjung Arab, tapi seluruh suku Arab sepakat menyucikan Ka’bah yang ada di Mekkah. Bahkan ada sejumlah suku yang sebagian anggotanya penganut Yahudi dan Nasrani ikut pula beribadah di musim haji. Demi mengagungkan Ka’bah dan kota Mekkah, ada di antara mereka yang baahkan membiarkan musuh yang telah membunuh keluargnya. Begitupun dengan tradisi haji yang kemudian ditetapkan sebagai rukun kelima Islam. Sebelum Islam datang, tradisi haji di bulan Dzulhijjah telah dilakukan masyarat Arab (Khalil Abdul Karim; 2003).
Fakta historis itu sesungguhnya hendak menegaskan, Islam agama yang bisa menerima tradisi yang hidup di tengah masyarakat sejauh selaras dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Islam bukan agama yang dengan mudah menolak apa yang hidup di masyarakat. Sebaliknya, Islam hadir dalam pergumulan intens dengan tradisi dan kultur setempat. Selain halal bihalal, ada banyak tradisi di Indonesia yang hidup untuk menginternalisir nilai-nilai agama seperti ragam masyarakat lokal menyambut datangnya Ramadhan. Dengan demikian sikap mudah mengkafirkan tradisi tanpa kritisisme sepertinya bertentangan dengan fakta sejarah keislaman.
Penerimaan tradisi ini selanjutnya memberi implikasi lain bagi umat Islam, yakni tuntutan agar terus mengembangkan kreativitas kebudayaan, dan tentu saja ijtihad keagamaan, sehingga Islam bisa diinternalisir dan dikembangkan lebih dinamis dan mampu menjawab kebutuhan zaman. Dalam konteks itu dibutuhkan ruang terbuka untuk terus mendialogkan berbagai problem keislaman secara bebas, bertanggungjawab, tanpa khawatir mendapat ancaman dan kekerasan. Dengan usaha-usaha semacam ini, Islam justru mampu membuktikan dirinya sebagai agama besar yang berkembang, dinamis, sekaligus menjawab kebutuhan spiritual pemeluknya. Dan kita bisa belajar dari tradisi halal bihalal yang tengah kita rayakan sekarang ini.
Jakarta, 29 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar